Nvidia dan Hewlett Packard Enterprise pada Selasa (10/6), mengumumkan kemitraan dengan Leibniz Supercomputing Centre untuk membangun superkomputer baru yang akan menggunakan chip generasi terbaru milik Nvidia. Proyek tersebut diberi nama Blue Lion, dan dijadwalkan akan mulai digunakan oleh para ilmuwan pada awal 2027 dengan mengandalkan chip terbaru Nvidia yang dinamai “Vera Rubin”.
Melansir Reuters, pengumuman ini disampaikan dalam konferensi superkomputasi di Hamburg, Jerman, menyusul pengumuman sebelumnya bahwa Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley di Amerika Serikat juga berencana membangun sistem dengan chip yang sama tahun depan. Secara terpisah, Nvidia juga menyampaikan bahwa Jupiter, superkomputer lain yang menggunakan chip mereka di lembaga penelitian nasional Jerman, Forschungszentrum Jülich, kini secara resmi menjadi sistem tercepat di Eropa.
Kesepakatan-kesepakatan ini mencerminkan upaya institusi-institusi di Eropa untuk tetap bersaing dengan Amerika Serikat dalam bidang superkomputasi, yang digunakan dalam berbagai bidang ilmiah mulai dari bioteknologi hingga riset iklim.
Jauh sebelum menjadi raksasa kecerdasan buatan, Nvidia telah berusaha meyakinkan komunitas ilmiah untuk memakai chip-nya guna mempercepat penyelesaian persoalan komputasi kompleks, seperti pemodelan perubahan iklim. Permasalahan semacam ini membutuhkan perhitungan yang sangat presisi dan bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Kini, Nvidia tengah mendorong ilmuwan untuk memanfaatkan kecerdasan buatan. Sistem AI dapat mengambil hasil dari sejumlah perhitungan presisi dan menggunakannya untuk menghasilkan prediksi yang, meskipun tidak seakurat perhitungan penuh, tetap berguna dan jauh lebih cepat diproses.
Tak hanya itu, Investing.com melaporkan pada Selasa, Nvidia memperkenalkan model AI terbaru mereka yang disebut “Climate in a Bottle”. Dalam konferensi pers, Dion Harris, Kepala Pemasaran Produk Data Center di Nvidia, menjelaskan bahwa ilmuwan akan dapat memasukkan beberapa kondisi awal seperti suhu permukaan laut, lalu menghasilkan prakiraan untuk 10 hingga 30 tahun ke depan dan memvisualisasikan kondisi cuaca di hampir setiap kilometer permukaan bumi.
“Para peneliti akan menggunakan pendekatan gabungan antara fisika klasik dan AI untuk menyelesaikan aliran atmosfer yang turbulen,” ujar Harris. “Teknik ini memungkinkan mereka menganalisis ribuan skenario dengan tingkat detail yang belum pernah dicapai sebelumnya,” katanya, menambahkan.